bbj-logoBerbagi Bites Jogja

16 Nov 2025

Dari Konsumsi ke Kurasi: Makanan sebagai Identitas di Era Media Sosial

Shabina Salsabilla Pasaih Putri

Shabina Salsabilla Pasaih Putri

Tanggal Publish 16 Nov 2025

Dari Konsumsi ke Kurasi: Makanan sebagai Identitas di Era Media Sosial

Dubai Chocolate. sumber: stock.adobe.com 

Mungkin teman-teman sudah tidak asing ketika mendengar istilah seperti Dubai Chocolate, Milk bun, atau Croffle—makanan yang sempat viral dan menjadi incaran banyak orang beberapa waktu lalu. Setiap kali tren makanan baru muncul di media sosial, antrean panjang di depan toko menjadi pemandangan biasa. Tak jarang, makanan dibeli bukan semata karena rasa, melainkan karena “semua orang juga makan itu.” Fenomena ini menunjukkan bagaimana makanan kini bukan sekadar kebutuhan biologis, tetapi juga sarana ekspresi diri, simbol status, bahkan alat untuk membangun citra sosial di dunia digital.

Kita hidup di masa ketika makanan telah bertransformasi menjadi konten. Dari tampilan feed Instagram hingga review TikTok video, makanan diposisikan bukan hanya sebatas objek konsumsi, melainkan sebagai medium representasi gaya hidup (Abidin, 2021). Dalam ruang digital yang serba visual, makanan yang instagramable sering kali lebih bernilai daripada yang benar-benar sesuai selera. Maka, tak heran jika sebagian besar tren kuliner populer kian hari lahir dan mati di media sosial karena mudah viral dan mudah terlupakan. Dalam dunia yang dikendalikan algoritma, makan bukan lagi soal rasa, tetapi tentang bagaimana ia tampak di layar.

Digital Food Management: Ketika Algoritma Mengatur Selera

Di era digital, cara kita mengelola makanan berubah. Food management bukan hanya urusan dapur, distribusi, atau nutrisi, melainkan juga pengelolaan citra dan pengalaman kuliner dalam konteks digital. Restoran kini tidak cukup hanya menyajikan makanan lezat; mereka perlu memastikan visualnya menarik di kamera, pencahayaan pas, dan atmosfernya cocok untuk diunggah ke media sosial (Jang & Kim, 2020).

Fenomena ini menciptakan apa yang bisa disebut sebagai digital food management: suatu proses pengelolaan makanan yang dipengaruhi oleh algoritma, tren daring, dan perilaku konsumen di platform digital. Restoran beradaptasi dengan menata ulang menu agar lebih viral-friendly, menggunakan influencer marketing, bahkan menyesuaikan warna piring dan pencahayaan ruangan untuk memastikan hasil foto terlihat menarik di kamera ponsel. Dengan kata lain, manajemen makanan kini bukan hanya tentang memenuhi perut, tetapi juga memenuhi ekspektasi visual.

Dari sisi konsumen, digital food management muncul dalam bentuk perilaku kurasi, yaitu memilih makanan yang “layak tampil”, bukan sekadar yang sesuai selera. Kemudian, istilah the feed eats first muncul, yaitu ketika makanan tidak akan disentuh sebelum difoto dan diunggah. Dalam kerangka ini, makanan berfungsi ganda: sebagai objek konsumsi dan sebagai aset estetika digital. Kita tidak sekadar makan, tetapi juga “mengelola pengalaman makan” agar tampak menarik di ruang virtual (Cappellini & Parsons, 2022).

Dari Tren ke Limbah: Ketika Rasa Tak Lagi Jadi Tujuan

Ironisnya, di balik tren sosial media  mengenai makanan yang bergulir cepat, muncul masalah baru: food waste dari konsumsi impulsif. Banyak makanan viral dibeli hanya untuk dicoba satu kali, diabadikan, lalu ditinggalkan. Ketika rasa ternyata tidak sesuai ekspektasi, makanan pun berakhir di tempat sampah. Fenomena ini terjadi karena proses konsumsi sering kali didorong oleh rasa fear of missing out (takut ketinggalan), bukan kebutuhan atau selera personal (Silchenko, 2023).

Contohnya, tren Dubai chocholate yang sempat viral karena tampilannya yang mewah dan menggoda di media sosial. Namun, banyak pembeli mengaku tidak benar-benar menyukai rasanya yang terlalu manis atau teksturnya yang berat. Hal serupa terjadi pada milk bun, roti isi lembut dengan krim manis yang banyak diunggah di TikTok. Setelah hype mereda, banyak gerai yang penjualannya menurun drastis karena konsumen sudah “pindah tren.”

Masalah ada bukan pada produk, melainkan pada pola konsumsi yang tidak berkelanjutan. Makanan menjadi komoditas citra: dibeli untuk kepuasan visual sesaat, bukan untuk kebutuhan jangka panjang. Di sinilah kita melihat paradoks zaman digital, semakin banyak orang berbicara tentang mindful eating, namun perilaku konsumsi justru makin impulsif dan tidak efisien (FAO, 2022).

Dalam konteks food management klasik, limbah muncul karena distribusi dan logistik yang buruk, maka di era digital limbah juga lahir dari dimensi sosial: keinginan untuk terlihat relevan. Waste bukan hanya sisa makanan fisik, tetapi juga sisa tren, sisa citra, juga sisa eksistensi digital.

Refleksi: Dari Konsumsi ke Kurasi

Fenomena ini menandakan pergeseran besar budaya: dari konsumsi sebagai kebutuhan menuju kurasi sebagai identitas. Kita tidak lagi makan semata untuk bertahan hidup, tetapi untuk membentuk persepsi tentang diri kita sendiri di hadapan orang lain. Makanan menjadi alat komunikasi sosial yang terintegrasi dengan budaya digital. Namun, dibalik estetika visual dan tren sesaat, ada pertanyaan yang perlu direnungkan: apa makna sejati dari makan di era media sosial?

Bila dulu makanan dilihat sebagai simbol kebersamaan dan keberlangsungan hidup, kini ia menjadi simbol eksistensi digital. Hambatannya adalah bagaimana mengembalikan nilai makan sebagai pengalaman sosial yang bermakna tanpa kehilangan kesadaran akan keberlanjutan. Dalam konteks food management, ini berarti mengelola bukan hanya makanan, tapi juga kesadaran konsumsi (Isaac-Bamgboye et al., 2025).

Dalam praktek konsumsi budaya dan kuliner, masyarakat dituntut untuk menjaga keseimbangan antara estetika dan etika—antara rasa ingin berbagi dan tanggung jawab terhadap lingkungan. Menghargai makanan berarti juga menghargai sumber daya dibaliknya: petani, distribusi, bahan, dan tenaga. Ketika makanan hanya dilihat sebagai sarana kurasi diri, kita berisiko kehilangan hubungan manusiawi dengan apa yang kita konsumsi.

Penulis: Shabina Salsabilla Pasaih Putri

Referensi: 

Abidin, C. (2021). The influencer industry: The quest for authenticity on social media. Stanford University Press.

Cappellini, B., & Parsons, E. (2022). Food sharing and digital identities in the age of social media. Journal of Consumer Culture, 22(5), 1012–1030. https://doi.org/10.1177/14695405211025347

FAO. (2022). Food Waste Index Report 2022. Food and Agriculture Organization of the United Nations.

Isaac-Bamgboye, F. J., Onyeaka, H., Isaac-Bamgboye, I. T., Chukwugozie, D. C., & Afolayan, M. (2025). Upcycling technologies for food waste management: Safety, limitations, and current trends. Green Chemistry Letters and Reviews, 18(1), 2533894. https://doi.org/10.1080/17518253.2024.2533894

Jang, S. S., & Kim, J. (2020). Food aesthetics and consumer experience in the digital age. International Journal of Hospitality Management, 90, 102612. https://doi.org/10.1016/j.ijhm.2020.102612

Johnston, J., & Goodman, M. K. (2015). Spectacular foodscapes: Food, identity, and performance on social media. Cultural Studies, 29(1), 25–45. https://doi.org/10.1080/09502386.2014.887923

Silchenko, K. (2023). Consuming the trend: Food virality and waste culture on social media. Media, Culture & Society, 45(3), 487–505. https://doi.org/10.1177/01634437221137562

Dari Konsumsi ke Kurasi: Makanan sebagai Identitas di Era Media Sosial | Berbagi Bites Jogja