bbj-logoBerbagi Bites Jogja

Home > Artikel > Mengenal Cara Pengelolaan Food Waste Di Korea Selatan

Mengenal Cara Pengelolaan Food Waste Di Korea Selatan

30 Agu 2025

Korea Selatan, sebuah negara yang dikenal dengan industrialisasi pesat dan budaya kuliner yang kaya, telah berhasil meluncurkan sebuah revolusi lingkungan yang menempatkannya sebagai pemimpin global dalam pengelolaan limbah makanan. Data menunjukkan bahwa Korea Selatan mampu mendaur ulang antara 97% hingga 98% limbah makanannya. Pencapaian ini sangat kontras dengan situasi di negara-negara maju lainnya, seperti Amerika Serikat, di mana sekitar 60% dari limbah makanan berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA). Keberhasilan Korea Selatan bukanlah hasil dari satu kebijakan tunggal, melainkan sinergi antara regulasi pemerintah yang progresif, partisipasi publik yang masif, dan inovasi teknologi yang berkelanjutan. Transformasi ini mengubah limbah makanan dari sekadar masalah lingkungan menjadi sumber daya yang berharga.

Dari Aturan Menjadi Budaya

Kondisi pengelolaan limbah di Korea Selatan pada era 1980-an sangat berbeda dengan saat ini. Industrialisasi dan urbanisasi yang pesat memunculkan masalah sosial dan lingkungan yang signifikan, termasuk penumpukan sampah di TPA. Pada tahun 1996, tingkat daur ulang limbah makanan di negara itu hanya sekitar 2,6%. Menyadari urgensi masalah ini, pemerintah mulai mengambil langkah-langkah transformatif.

Pada tahun 1995, Korea Selatan memperkenalkan kebijakan Volume-based Waste Fee (VBWF) atau sistem yang dikenal sebagai pay-as-you-throw (PAYT), yang mewajibkan warga untuk membeli kantong sampah resmi. Prinsip dasarnya adalah polluter pays principle (prinsip pencemar membayar), di mana biaya pengelolaan limbah ditanggung oleh penghasil sampah itu sendiri. Namun, kebijakan awal ini tidak sepenuhnya spesifik untuk limbah makanan, yang menyebabkan sekitar 30% limbah makanan masih tercampur dengan sampah umum.

Perubahan signifikan terjadi pada tahun 2005 ketika pemerintah secara hukum melarang pembuangan limbah makanan langsung ke TPA. Larangan ini menjadi katalisator bagi inovasi dan memaksa semua pihak untuk mencari solusi pengolahan limbah yang lebih baik. Sebagai evolusi dari kebijakan sebelumnya, pada tahun 2013, sistem Weight-Based Food Waste Fee (WBFWF) mulai diterapkan secara nasional. Sistem ini lebih canggih dan mengenakan biaya berdasarkan berat limbah makanan yang dibuang. 

Prinsip “Bayar Sesuai Volume/Berat” (PAYT/WBFWF)

Sistem pay-as-you-throw (PAYT) adalah jantung dari keberhasilan Korea Selatan. Prinsip ini menciptakan insentif finansial yang kuat bagi individu dan bisnis untuk mengurangi limbah mereka. Warga dikenakan biaya bulanan yang dihitung berdasarkan jumlah sampah yang dibuang. Alternatifnya, mereka harus membeli kantong sampah resmi yang harganya bervariasi tergantung ukuran, seperti kantong 3 liter seharga 300 won atau 20 liter seharga sekitar US$1.5. Sistem ini menunjukkan bahwa keberhasilan pengelolaan limbah tidak datang dari satu kebijakan tunggal, melainkan dari evolusi yang dinamis dan terencana. Transformasi ini didorong oleh tekanan sosial yang muncul akibat penumpukan sampah di TPA. Selain insentif finansial, penegakan hukum yang ketat menjadi pilar lain yang tidak kalah penting. Pelanggar yang mencampur limbah makanan dengan sampah biasa dapat dikenakan denda dengan besaran yang cukup signifikan untuk mendorong kepatuhan. Pemerintah juga memanfaatkan teknologi seperti kamera keamanan untuk memantau pembuangan sampah yang tidak sesuai aturan. Sistem pengawasan yang ketat dan sanksi yang tegas ini berperan penting dalam mengubah kebiasaan masyarakat, dari yang awalnya sulit beradaptasi menjadi rutinitas sehari-hari. 

Pemilihan Sampah yang Terperinci

Selain itu, pemilahan sampah yang terperinci menjadi fondasi dari sistem pengelolaan limbah di Korea Selatan. Sampah dibagi ke dalam lima kategori utama, masing-masing dengan tempat pembuangan yang berbeda. Warga harus memisahkan limbah makanan dari sampah umum, material daur ulang (seperti kertas, kaca, dan plastik), limbah besar, dan limbah medis. Mekanisme pembuangan limbah makanan disesuaikan dengan jenis tempat tinggal dan lokasi. Secara umum, ada tiga metode utama yang dapat digunakan:

  1. Kantong Sampah Resmi

Warga membeli kantong khusus dan menempatkannya di luar rumah untuk kemudian dikumpulkan oleh dinas kota.  

  1. Stiker

Biasanya digunakan oleh bisnis atau untuk wadah sampah yang lebih besar. Stiker khusus ini dibeli dan ditempelkan pada wadah sesuai dengan beratnya.  

  1. Mesin dengan Sensor

Ini adalah metode yang paling canggih dan umum ditemukan di gedung-gedung tinggi dan kompleks apartemen. Mesin ini dilengkapi dengan sensor berat dan sistem radio-frequency identification (RFID). 

Penerapan Teknologi yang Mendukung Inovasi Pengelolaan Food Waste

Penerapan teknologi canggih seperti RFID adalah kunci yang menghubungkan kerangka konseptual pay-as-you-throw dengan implementasi praktis yang efisien. Mesin-mesin pengumpul limbah elektronik ini secara akurat menimbang sampah, mencatat data ke unit individu atau rumah tangga, dan mengirimkan tagihan secara otomatis di akhir bulan. Tanpa kemampuan untuk mengukur dan menagih biaya per individu, insentif finansial tidak akan bekerja secara efektif. Selain itu, truk-truk pengumpul juga dilengkapi dengan RFID untuk menimbang kontainer limbah besar dan memastikan akuntabilitas di setiap tahap. Sinergi antara kebijakan insentif dan teknologi pendukung inilah yang membuat sistem Korea Selatan dinilai begitu efektif. 

Sistem pengelolaan limbah makanan di Korea Selatan tidak berakhir pada pengumpulan, tetapi meluas hingga pengolahan dan penciptaan nilai baru. Sisa-sisa makanan yang terkumpul tidak dibuang sia-sia, melainkan didaur ulang menjadi produk bernilai. Hal ini mengimplementasikan konsep ekonomi sirkular pada skala nasional, mengubah limbah dari masalah menjadi sumber daya berharga. Jalur pengolahan utama adalah konversi limbah makanan menjadi pakan ternak. Produk-produk daur ulang ini langsung kembali ke sektor pertanian dan peternakan, menciptakan siklus nutrisi yang efisien dan berkelanjutan. Sisa makanan yang berhasil didaur ulang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti pakan ternak (49%), pupuk (25%), dan produksi biogas (14%). Selain itu, produksi biogas dari limbah organik tidak hanya mengatasi masalah sampah, tetapi juga menghasilkan sumber energi terbarukan yang dapat digunakan untuk menyalurkan listrik ke rumah-rumah warga. Dengan ini, Korea Selatan berhasil menciptakan nilai ekonomi dan lingkungan dari limbah sisa makanan. 

Namun, inovasi pengelolaan food waste tersebut sempat dikritik karena mungkin tidak relevan untuk semua negara. Pakar dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Rosa Rolle, menyatakan keraguan apakah sistem ini dapat berhasil di negara-negara dengan pendapatan per kapita yang jauh lebih rendah. Biaya implementasi infrastruktur canggih seperti mesin RFID dan pusat pengolahan biogas membutuhkan investasi yang signifikan, yang mungkin tidak terjangkau oleh negara berkembang. Kritik ini valid karena keberhasilan Korea Selatan bergantung pada kombinasi faktor yang unik, yakni kemauan politik yang kuat, kemajuan ekonomi, dan partisipasi publik yang tinggi. Oleh karena itu, negara lain perlu menyesuaikan kebijakan berdasarkan konteks lokal, perilaku masyarakat, dan kondisi ekonomi mereka sebelum mencontoh pengelolaan food waste di Korea Selatan. Selain itu, komitmen pemerintah Korea Selatan dalam mengeluarkan kebijakan seperti WBFWF, melarang TPA limbah makanan, dan memberlakukan denda menjadi fondasi yang kuat. 

Inovasi dari Korea Selatan ini dapat memberikan inspirasi penting bagi Indonesia yang masih menghadapi tantangan seperti kesadaran masyarakat yang rendah dan masalah kelembagaan dalam pengelolaan sampah. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat adalah kunci tercapainya transformasi besar (mengubah limbah menjadi sumber daya yang dapat dimanfaatkan). 

Penulis: Nasya Ladita Agustine

Referensi

detikcom. (2025, 21 Agustus). Resep Sukses Korsel Mendaur Ulang 97% Limbah Makanan. Diakses pada 21 Agustus 2025, dari https://news.detik.com/bbc-world/d-7581960/resep-sukses-korsel-mendaur-ulang-97-limbah-makanan 

Envac Group. (n.d.). Tackling Food Waste: South Korea’s Success Story. Diakses pada 21 Agustus 2025, dari https://www.envacgroup.com/insights/tackling-food-waste-south-koreas-success-story/ 

Kim, J. J. (2024, 26 Agustus). Sukses Kelola Limbah Makanan: Apa yang Bisa Indonesia Pelajari dari Korea Selatan?. Kompasiana. Diakses pada 21 Agustus 2025, dari https://www.kompasiana.com/amdg77/66bac9ac34777c0a3c09e974/sukses-mengelola-limbah-makanan-apa-yang-bisa-indonesia-pelajari-dari-korea-selatan 

Kompas (Lestari KG Media). (2024, 26 Agustus). Korea Selatan Mampu Daur Ulang 98 Persen “Food Waste”, Ini Rahasianya. Diakses pada 21 Agustus 2025, dari https://lestari.kompas.com/read/2024/08/26/150000986/korea-selatan-mampu-daur-ulang-98-persen-food-waste-ini-rahasianya?page=all 

Lee, E., Shurson, G., Oh, S.H., and Jang, J.C. (2024). The Management of Food Waste Recycling for a Sustainable Future: A Case Study on South Korea. Sustainability, 16(2), 854. https://doi.org/10.3390/su16020854 

Pers Pangannews. (2024, 22 Oktober). Menggali Keberhasilan Korea Selatan dalam Pengelolaan Limbah Makanan. Diakses pada 21 Agustus 2025, dari https://pangannews.id/berita/1729559777/menggali-keberhasilan-korea-selatan-dalam-pengelolaan-limbah-makanan 

Wulandari, N. dan Deniar, S.M. (2023). Upaya Negara Korea Selatan dalam Menangani Food Waste (Sampah Makanan). JGG-Jurnal Green Growth dan Manajemen Lingkungan, 12(2), 112-124. https://doi.org/10.21009/jgg.122.02