bbj-logoBerbagi Bites Jogja

Home > Artikel > Mengubah Limbah Makanan Menjadi Solusi Tenaga Terbarukan

Mengubah Limbah Makanan Menjadi Solusi Tenaga Terbarukan

28 Jul 2025

Limbah makanan. Sumber: Stateline.org
Limbah makanan. Sumber: Stateline.org

Indonesia menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan limbah makanan. Sebagai produsen limbah makanan terbesar di dunia, Indonesia membuang sekitar 23 – 48 juta ton makanan setiap tahunnya. Hal ini tidak hanya menyangkut masalah pemborosan, tetapi juga memberikan dampak serius bagi lingkungan. Limbah makanan yang membusuk menghasilkan gas metana (CH4), sebuah gas rumah kaca yang memiliki potensi pemanasan global jauh lebih besar dibandingkan karbon dioksida (CO2). Namun, di balik masalah ini, limbah makanan dapat dimanfaatkan menjadi salah satu energi terbarukan melalui teknologi yang disebut pencernaan anaerobik. Pencernaan anaerobik adalah sebuah terobosan yang menggunakan mikroorganisme untuk mengurai bahan organik dalam kondisi bebas oksigen, menghasilkan biogas dengan kandungan metana yang tinggi. Biogas ini dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan listrik, pemanas, maupun bahan bakar transportasi.

Menurut Paritosh dkk. (2017), dibandingkan dengan limbah pertanian dan kotoran hewan, limbah makanan memiliki kandungan energi yang lebih tinggi, menjadikannya ideal untuk produksi biogas. Komposisi limbah makanan yang kaya akan karbohidrat, protein, dan lemak mempercepat proses fermentasi mikroba serta menghasilkan volume metana yang signifikan. Selain potensi teknis yang tinggi, kita juga perlu menggeser paradigma dalam melihat limbah makanan. Caterina Trevisan, dkk. (2025) secara provokatif mempertanyakan, “Is wasted food just waste?”. Menurut mereka, kita perlu beralih dari melihat limbah makanan sekadar sebagai sisa atau kegagalan sistem, menjadi potensi nilai yang bisa diubah. Mereka menyebutnya pendekatan “value transformation lens”, yaitu cara pandang yang melihat makanan terbuang sebagai titik awal untuk inovasi, bukan akhir dari proses distribusi. Artinya, alih-alih hanya fokus pada menghindari atau mengurangi limbah, kita juga bisa berpikir: bagaimana sisa makanan dapat berperan dalam sistem pangan baru? Limbah makanan berpotensi menjadi bahan baku energi, bahan kosmetik, kompos, makanan ternak, bahkan menciptakan bisnis sosial baru. Transformasi ini menuntut pergeseran dalam operasi logistik dan manajemen rantai pasok, dengan menempatkan nilai sosial dan ekologi sejajar dengan nilai ekonomi.

Menggabungkan dua pendekatan ini—teknologi dan paradigma—membuka kemungkinan baru yang revolusioner. Bayangkan sebuah kota yang bukan hanya memiliki instalasi biodigester canggih, tetapi juga masyarakat yang sejak awal tidak menganggap sisa makanan sebagai “buangan”, melainkan sebagai sumber daya. Di kota seperti itu, restoran tidak sekadar membuang makanan lebih sedikit, tetapi juga membangun sistem pasokan ulang, ketika sisa makanan dialirkan ke instalasi energi atau bank makanan komunitas. Untuk mencapai visi ini, tentu dibutuhkan dukungan kebijakan, insentif ekonomi, dan yang paling penting: perubahan budaya konsumsi. Teknologi pengolah limbah hanya akan efektif jika diiringi dengan kesadaran sosial dan struktur sistem yang memungkinkan transformasi nilai itu terjadi. Namun, pemanfaatan limbah makanan untuk energi masih menghadapi sejumlah hambatan. Di antaranya adalah keterbatasan infrastruktur dan teknologi, kurangnya kesadaran masyarakat, serta belum optimalnya dukungan kebijakan publik. Padahal, pendekatan ini memiliki banyak manfaat, seperti mengurangi emisi gas rumah kaca, memperpanjang usia TPA, menyediakan sumber energi bersih, serta menciptakan lapangan kerja baru di sektor hijau.

Oleh karena itu, solusi ini perlu didorong melalui kebijakan lintas sektor, edukasi publik, dan integrasi dalam program lingkungan hidup di tingkat lokal maupun nasional. Pengembangan teknologi pencernaan anaerobik yang mudah diakses dan diterapkan secara komunitas dapat menjadi langkah awal untuk membangun kesadaran bahwa limbah makanan bukan sekadar sampah, melainkan sumber daya berharga. Dengan kombinasi antara inovasi teknologi, edukasi masyarakat, dan dukungan kebijakan, Indonesia memiliki peluang besar untuk memimpin dalam transisi energi hijau berbasis limbah organik. Jika kita mampu mengubah cara pandang terhadap sisa makanan, dari beban menjadi berkah, maka masa depan energi terbarukan akan semakin dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Penulis: Ginanita Zelda 

Referensi 

Paritosh, K., Kushwaha, S. K., Yadav, M., Pareek, N., Chawade, A., & Vivekanand, V. (2017). Food Waste to Energy: An Overview of Sustainable Approaches for Food Waste Management and Nutrient Recycling. BioMed Research International, 2017, 1–19. https://doi.org/10.1155/2017/2370927

Trevisan, C., Formentini, M., & Pullman, M. (2025). Innovators and transformers: Is wasted food just waste? Reconceptualising food loss and waste in operations and supply chain management research and practice. International Journal of Physical Distribution & Logistics Management, 55(4), 361–375. https://doi.org/10.1108/IJPDLM-12-2023-0471